Membunuh Orang Lain: Memusnahkan Lokus Dari Yang Transenden


Pembunuhan-perang-serangan terorisme merupakan bentuk-bentuk keji dari penyangkalan eksistensi dalam sejarah manusia"
Killing Time, Sumber : steemit
Sejak berabad-abad telah diakui bahwa salah satu kejahatan manusia yang paling keji di muka bumi adalah membunuh. Akar yang paling mendalam dari fenomen ini terletak pada hilangnya dari diri manusia makna tentang nilai hidup, serta lenyapnya rasa hormat terhadap peri kemanusiaan. Di dalam aksi membunuh, hak yang paling asasi, yaitu hak hidup orang lain, tidak dihargai. Ingat saja, misalnya, pembantaian enam juta orang Yahudi di bawah komando Hitler. Peristiwa sejarah ini menunjukkan suatu pembunuhan terencana dan metodis, yang telah mengakibatkan lenyapnya nyawa manusia secara besar-besaran. Melenyapkan nyawa orang berarti mengkhianati satu nilai yang paling hakiki dalam diri seseorang, yaitu hidup itu sendiri. Seorang pembunuh adalah seorang pengkhianat. Ia tidak hanya mengkhianati orang yang dibunuhnya, tetapi lebih dari itu, ia mengkhianati hidup. Dalam anggapannya, hidup itu tidak berarti. Hidup adalah nihil.
Nietzsche (1844 -1900) telah lama menegaskan bahwa nihilismebukan sekedar sebuah kontemplasi filosofis tentang kesia-siaan nilai dari segala sesuatu, bukan juga sekedar seruan profetis tentang kehancuran segala sesuatu. Nihilisme, yang pada prinsipnya merupakan ajaran yang mewartakan kehancuran nilai, memiliki titik akhir: ketiadaan. Nihilisme berarti segala sesuatu adalah nihil. Menurut orang Romawi, terminologi nihilyang pada awalnya mereka sebut ne-hilum memiliki makna “tidak ada apa-apanya”. Orang Inggris menyebutnya no-thing, orang Italia mempunyai kata niente atau nulla, orang Jerman menyebutnya nichtsementara orang Perancis mempunyai kata rien. Semua makna ini akan menjadi lebih jelas kalau kita merujuk pada konteks ontologis. Nihil, “tidak ada apa-apanya”, adalah sebuah penegasian ontologis tentang eksistensi sesuatu. Jika sesuatu secara ontologis tidak ada, maka ia tidak ber-eksistensi.
Pembunuhan-perang-serangan terorisme merupakan bentuk-bentuk keji dari penyangkalan eksistensi dalam sejarah manusia, di samping pe-negasi-an nilai hidup manusia. Arketipe manusia yang senantiasa menginkarnasikan pembunuhan-kekerasan-perang adalah ceritera tentang figur Kain yang membunuh Abel, saudaranya, dalam Kitab Perjanjian Lama. Bukan semata-mata karena kecemburuan, yang disebabkan korban Abel diterima Tuhan, sehingga Kain membunuh Abel. Melainkan, jauh lebih mendasar dari itu, karena kehadiran Abel dianggap Kain sebagai pengganggu atau juga rival eksistensinya. Kain tidak ingin saudaranya ber-ada di hadapannya; keberadaan Abel tidak diterima. Karenanya Kain menempuh jalan: meniadakan eksistensi Abel. Kain membunuh Abel. Dengan membunuh Abel, Kain mau menegaskan bahwa hanya dia sendiri yang berada. Di sini Kain secara amat egois mengafirmasi eksistensi dirinya. Demikianlah, tindakan membunuh merupakan aktus pengafirmasian “si aku” dalam konteks penegasian yang lain. Kain telah menjadi simbol universal dari penyakit manusia yang paling ngeri, yaitu membunuh.
Orang-orang kristiani telah lama mengetahui hukum ke-7 dari Dekalog, yaitu “Jangan membunuh”. Kata “jangan” memiliki konotasi me-negasi. Sedangkan “membunuh“ (sebagai suatu aktus = meniadakan eksistensi orang lain) adalah suatu larangan; larangan yang tidak boleh dilanggar. Sehingga, “Jangan membunuh” adalah negasi dari suatu negasi. Negasi dari suatu negasi adalah ekspresi lain dari penegasan positif tentang sesuatu. “Jangan membunuh” berarti: hendaklah bertanggungjawab atas hidup orang lain. Dengan kalimat lain, “Cintailah hak hidup orang lain”.
Cinta, orang Yunani menyebutnya eros (έρως). Dalam epos tentang Perang Troya, Homerberbicara tentang peranan dua tokoh sentral, yaitu Eris (saudari Ares)-Dewa Perang dan Eros (bukan nama yang secara langsung diberikan oleh Homer, tetapi oleh Afrodite)-Dewa Cinta. Eris adalah dewa yang membawa perpecahan dan penghancuran segala sesuatu. Sedangkan Eros adalah dewa yang mengembalikan semuanya kedalam persatuan, keteraturan, kedalam hidup, kedalam cinta. Eros adalah simbol tentang kekuatan cinta.
Plato (427-347 SM) kemudian membagi eroskedalam beberapa tingkatan. Pertama, dalam tingkatan yang paling rendah, eros dimengerti sebagai cinta akan keindahan tubuh (l’amore dellla bellezza del corpo). Tubuh adalah representasi dari keindahan. Tetapi ini tidak cukup karena keindahan tubuh itu bersifat biologis belaka. Keindahan tubuh mesti mengantar kepada keindahan yang lebih dalam. Dalam tingkatan kedua, eros dipahami dalam konteks cinta akan keindahan jiwa (l’amore dellla bellezza dell’anima). Manusia adalah jiwanya. Karenanya, keindahan manusia tidak terletak pada tubuhnya saja tetapi juga pada jiwanya. Pada tingkatan ketiga, eros adalah cinta akan keindahan hasil kreasi jiwa manusia (l’amore dellla bellezza della creazione dell’anima). Dalam tingkatan keempat, eros dilihat sebagai cinta akan keindahan pengetahuan (l’amore della bellezza della scienza).
Cinta akan keindahan pengetahuan ini mesti mengantar kepada tingkatan eros yang paling tinggi dan mulia, yaitu cinta akan keindahan absolut (l’amore del bello assolutto).
Inilah cinta yang paling agung. Cinta yang paling agung adalah cinta akan keindahan itu sendiri, yaitu “keindahan in se”. Keindahan in se di dalam dirinya sendiri adalah sempurna. Karenanya ia adalah baik. Menurut Plato, “eros dalam tingkatan yang paling tinggi” mesti dilihat dari konteks yang paling sempurna. Ia layak disebut demikian ketika ia berada pada level yang sama dengan “kebaikan”. Kebaikan adalah manifestasi keindahan yang paling tinggi. Demikianlah, menurut Plato, “yang paling indah adalah yang paling baik”. Keindahan dan kebaikan adalah satu.
Apabila seseorang telah dapat mengkontemplasikan keindahan absolut yang paling mulia-agung-belum terkontaminasi oleh sesuatu yang lain itu, apa yang kemudian harus dilakukannya ? Plato mengajarkan bahwa cinta akan hal-hal yang kelihatan (visible) mesti mengantar kepada cinta akan hal-hal yang tidak kelihatan (invisible). Ini hanya mungkin lewat jalan kebaikan. Dan kebaikan adalah kebajikan tertinggi. Cinta tidak berhenti pada ketertarikan akan keindahan biologis, tetapi mesti berakhir pada penghormatan atas pewahyuan keindahan absolut, lewat jalan kebaikan (moral).
Manusia yang visible menurut pandangan orang kristiani adalah imago dei, yaitu gambaran Allah-yang invisible. Karenanya, manusia di dalam dirinya bukan saja indah (lebih dalam pengertian estetis), atau mengagumkan [seperti yang pernah dikumandangkan Pico dari Mirandola, magnum miraculum est homo (“keajaiban besar adalah manusia”)], tetapi dia juga adalah baik (lebih dalam pengertian moral). Manusia adalah unitas dari yang indah (pulchrum) dan yang baik (bonum). Karenanya ia tidak boleh diapa-apakan, dalam arti: kehadirannya (manusia) dihadapan-ku tidak boleh diganggu. Menurut Emmanuel Levinas (1906-1995), setiap kehadiran orang lain (l’Autrui) [lAutrui adalah terminologi khusus yang dipakai Levinas untuk berbicara tentang “dia yang lain”] mesti dilihat sebagai suatu kehadiran etis (la prèsence d’èthique). Tidak ada yang lain. Dalam kehadiran etis, “dia yang lain” berbicara (le dire). Dan, firman pertama yang keluar adalah “Jangan bunuh aku!
Karena dia yang mulai berbicara, maka dia yang pertama menyapaku. Sapaannya bukan suatu sapaan basa basi. Sapaannya adalah serius. “Jangan bunuh aku!” adalah suatu sapaan etis. Setiap sapaan atau panggilan biasanya meminta suatu jawaban. Sapaan etis itu mesti ditanggapi dengan suatu jawaban etis pula. Dalam level etis, pihak yang memberi jawaban adalah pihak yang mesti menanggung konsekuensi dari jawaban yang dia berikan. Di sini, menanggung konsekuensi atas jawaban yang diberikan adalah tanggungjawab. Jawaban dari suatu panggilan adalah tanggungjawab. Tidak ada tanggungjawab yang lebih besar kecuali tanggungjawab atas hidup orang lain.
Filsafat tentang orang lain yang dikembangkan Levinas memiliki basis pada abstraksi metafisik. Karena itu secara metafisis, “dia yang lain” (l’Autrui) yang hadir di depanku adalah jejak (enigma) dari “Yang Maha Tinggi” (meski dia sendiri bukanlah “Yang Maha Tinggi”). Sebagai jejak dari Yang Maha Tinggi, dia mempunyai posisi sebagai yang lebih tinggi dari-ku. Di sini, makna yang lebih tinggi memberi gambaran “dia yang lain” sebagai lokus (wadah) pewahyuan dari Yang Agung. Sebagai pewahyuan dari Yang Agung , “dia yang lain” adalah juga lokus dari Yang Transenden. Berjumpa dengan orang lain berarti berjumpa dengan jejak-jejak dari Yang Transenden. Tetapi perlu dipahami di sini: Berjumpa dengan jejak Yang Transenden mengisyaratkan bahwa saya selalu pada posisi yang terlambat, karena yang saya jumpai adalah jejaknya. Yang Transenden seolah-olah telah berjalan lewat. Saya hanya menjumpai kelampauannya (it’s own past). Tetapi menjumpai kelampauannya bukan berarti menjumpai yang daluarsa dan tak berarti. Yang lampau dihadirkan secara baru dalam diri “dia yang lain”. Inilah kehadiran yang meminta respek etis dari-ku, yaitu untuk tidak membunuhnya. Karena membunuh orang lain selalu berarti memusnahkan lokus dari Yang Transenden.

Socrates



Terhadap aliran yang mendangkalkan pengetahuan dan melemahkan rasa tanggungjawab itulah, Sokrates memberontak. Dengan filosofinya yang diamalkan dengan cara hidupnya, ia mencoba memperbaiki masyarakat yang rusak. Orang diajak memperhitungkan tanggung jawabnya”
Robert Fowler - and so Socrates dies, Sumber: art uk
Kiranya telah banyak pembahasan mengenai tokoh filsafat yang satu ini. Namun demikian, tidaklah etis apabila situs yang bertemakan filsafat tidak membahas tentang beliau, meskipun sedikit banyak juga telah dibahas pada tulisan-tulisan, kajian-kajian, atau diskusi-diskusi kelas emperan hingga di dalam gedung-gedung akademik. Tetapi semoga tulisan ini memberi setidaknya sedikit khazanah pengetahuan baru untuk kita.
Sokrates lahir di Athena tahun 469 S.M. dan meninggal tahun 399 S.M.[1]Masa hidupnya hampir sejalan dengan perkembangan sofisme di Athena. Pada hari tuanya Sokrates melihat kota tumpah darahnya mulai mundur, setelah mencapai puncak kebesaran yang gilang-gemilang. Sokrates bergaul dengan semua orang, tua dan muda, kaya dan miskin. Ia seorang filsuf dengan keunikannya sendiri. Ajaran filosofinya tak pernah dituliskannya, melainkan dilakukannya dengan perbuatan, dengan menerapkannya dalam kehidupan. Menurut teman-temannya: Sokrates demikian adil, sehingga ia tak pernah berlaku zalim. Ia begitu pandai menguasai dirinya, sehingga ia tak pernah memuaskan hawa nafsu dengan merugikan kepentingan umum. Ia demikian cerdiknya, sehingga ia tak pernah khilaf dalam menimbang baik dan buruk.
Sokrates mempunyai tujuan, mengajar orang mencari kebenaran. Sikapnya itu adalah suatu reaksi terhadap ajaran sofisme yang merajalela waktu itu. Guru-guru sofis mengajarkan bahwa "kebenaran yang sebenar-benarnya tidak tercapai." Sebab itu tiap-tiap pendirian dapat "dibenarkan" dengan jalan retorika. Dengan daya kata dicoba memperoleh persetujuan orang banyak. Apabila orang banyak sudah setuju, itu dianggap sudah benar. Dengan cara demikian, pengetahuan menjadi dangkal.
Terhadap aliran yang mendangkalkan pengetahuan dan melemahkan rasa tanggungjawab itulah, Sokrates memberontak. Dengan filosofinya yang diamalkan dengan cara hidupnya, ia mencoba memperbaiki masyarakat yang rusak. Orang diajak memperhitungkan tanggung jawabnya. Ia selalu berkata, yang ia ketahui cuma satu, yaitu bahwa ia tak tahu. Karena itu ia bertanya. Tanya jawab adalah jalan baginya untuk memperoleh pengetahuan. Sesungguhnya inilah permulaan dialektik. Dialektik asal katanya dialog, artinya bersoal jawab antara dua orang.
Guru-guru sofis yang mengobral "ilmu" di tengah-tengah pasar ditantangnya dengan cara ia berguru. Ia sebagai yang tidak tahu itu lalu ingin tahu dan bertanya. Tiap jawaban atas pertanyaannya disusul dengan pertanyaan baru. Demikianlah seterusnya. Pertanyaan itu makin lanjut makin mendesak. Akhirnya guru sofis tidak sanggup lagi menjawab dan mengaku tidak tahu. Lalu Sokrates mengunci tanya-jawab tadi dengan berkata: "Demikianlah adanya, kita kedua-duanya sama-sama tidak tahu."
Dengan caranya yang berani dan jujur itu Sokrates banyak memperoleh kawan. Pemuda Athena sangat cinta kepadanya. Tetapi sebaliknya, lawannya juga banyak, terutama guru-guru sofis serta pengikut-pengikutnya yang berpolitik, yang memperoleh kemenangan dengan jalan retorika. Akhirnya Sokrates diajukan ke muka pengadilan rakyat dengan dua macam tuduhan. Pertama, bahwa ia meniadakan dewa-dewa yang diakui oleh negara, dan mengemukakan dewa-dewa baru. Kedua, bahwa ia menyesatkan dan merusak fiil (tingkah laku, perangai) pemuda.
Namun, pun dalam pembelaannya Sokrates tetap tegas. Melihat susunan mahkamah rakyat itu, sudah terang ia akan disalahkan dan dihukum. Tetapi pantang baginya akan menjilat, beriba-iba mengambil hati para hakim supaya hukumannya diperingan. Dengan tangkas ia mengatakan, bahwa ia tidak bersalah melainkan berjasa pada pemuda dan masyarakat Athena. Bukan hukuman, melainkan upah yang harus diterimanya.
Alangkah terkejut kawan-kawan yang mendengarkan ucapannya itu. Para hakim tercengang, perasaan mereka tersinggung. Dengan suara terbanyak ia dihukum mati dengan meminum racun. Sokrates sedikitpun tidak gentar. Ia berkata dengan suara tenang, bahwa ia siap dan bersedia menjalani hukumannya.Dengan hati yang tetap pula ia menolak semua bujukan kawan-kawannya untuk lari dari penjara dan menyingkir ke kota lain. Sokrates, yang selalu patuh kepada undang-undang, tidak mau durhaka pada saat ia akan meninggal. Cara matinya juga memberikan contoh, betapa seorang filsuf setia kepada ajarannya.
Sokrates, seperti tersebut di atas, tidak pernah menuliskan filosofinya. Jika ditilik benar-benar, ia malah tidak mengajarkan filosofi, melainkan hidup berfilosofi. Filosofinya mencari kebenaran. Ia bukan ahli pengetahuan, melainkan pemikir.
Karena Sokrates tidak menuliskan filosofinya, maka sulit sekali mengetahui ajaran otentiknya. Ajarannya itu hanya dikenal dari catatan murid-muridnya, terutama Xenephondan Plato.[2]Catatan Xenephon kurang bisa diyakini, karena ia sendiri bukan filsuf. Untuk mengetahui ajaran Sokrates, orang banyak bersandar kepada Plato. Tetapi kesukarannya ialah bahwa Plato dalam tulisannya banyak menuangkan pendapatnya sendiri ke dalam mulut Sokrates. Dalam uraian-uraiannya, yang kebanyakan berbentuk dialog, hampir selalu Sokrates yang dikemukakannya. Ia memikir, tetapi keluar seolah-olah Sokrates yang berkata.
Meskipun murid-murid Sokrates memberi isi sendiri-sendiri kepada ajaran gurunya, ada satu hal yang mereka sepakat, yaitu tentang metodeSokrates. Tujuan filosofi Sokrates adalah mencari kebenaran yang berlaku untuk selama-lamanya. Di sinilah letak perbedaannya dengan guru-guru sofis, yang mengajarkan bahwa semuanya relatif dan subjektif dan harus dihadapi dengan pendirian yang skeptis. Sokrates berpendapat, bahwa kebenaran itu tetap ada-nya dan harus dicari.
Dalam mencari kebenaran itu ia tidak memikirkan dirinya sendiri, melainkan setiap kali ia berdua dengan orang lain, dengan tanya-jawab. Orang kedua itu tidak dipandangnya sebagai lawan, melainkan sebagai kawan yang diajak bersama mencari kebenaran. Ia tidak mengajarkan, melainkan menolong mengeluarkan apa yang tersimpan di dalam jiwa orang.
Sokrates mencari pengertian, yaitu bentuk yang tetap dari segala sesuatu. Karena itu ia selalu bertanya: Apa itu? Apa yang dikatakan berani, apa yang disebut indah, apa yang bernama adil? Pertanyaan tentang "apa itu" harus lebih dahulu daripada "apa sebab". Ini biasa bagi manusia dalam hidup sehari-hari. Anak kecil pun mulai bertanya dengan "apa itu". Oleh karena jawab tentang "apa itu", dicarilah dengan tanya-jawab yang makin meningkat dan mendalam, maka Sokrates diakui pula - sejak keterangan Arsitoteles - sebagai pembangun dialektik pengetahuan. Tanya-jawab, yang dilakukan secara meningkat dan mendalam, melahirkan pikiran yang kritis.
Oleh karena Sokrates mencari kebenaran yang tetap dengan tanya-jawab sana dan sini, yang kemudian dibulatkan dengan pengertian, maka jalan yang ditempuhnya adalah metode induksi dan definsi. Induksi menjadi dasar definisi.
Induksi di sini berlainan artinya dengan induksi sekarang. Menurut induksi paham sekarang, penyelidikan dimulai dengan memperhatikan yang spesifik, dan dari sana - dengan mengumpulkan - dibentuk pengertian yang berlaku umum. Sedangkan induksi yang menjadi metode Sokrates adalah memperbandingkan secara kritis. Ia tidak berusaha mencapai yang umum dari yang spesifik. Ia mencoba mencapai definisi dengan contoh dan persamaan, dan diuji pula dengan saksi dan lawan saksi. Seperti disebut di atas, dari kawan bersoal-jawabnya, yang masing-masing terkenal sebagai ahli dalam vak-nya sendiri-sendiri, dikehendakinya definisi tentang "berani", "indah", dan sebagainya. Pengertian yang diperoleh itu diujikan kepada beberapa keadaan atau kejadian yang nyata. Apabila dalam pasangan itu pengertian itu tidak mencukupi, maka dari ujian itu dicari perbaikan definisi. Definisi yang tercapai dengan cara itu diuji kembali untuk mencapai perbaikan yang lebih sempurna. Demikian seterusnya.
Dengan jalan itu, induksi kepada definisi, hasil yang dicapai tidak lagi takluk kepada paham subjektif seperti yang diajarkan kaum sofis, melainkan umum sifatnya dan berlaku untuk selama-lamanya. Induksi dan definisi menuju pengetahuan yang berdasarkan pengertian.
Dengan caranya itu, Sokrates membangun dalam jiwa orang bahwa kebenaran tidak diperoleh begitu saja, melainkan dicari dengan perjuangan seperti memperoleh barang yang tertinggi nilainya. Dengan cara mencari kebenaran seperti itu terlaksana pula tujuan yang lain, yaitu membentuk karakter. Sebab itu, kata Sokrates, budi ialah tahu. Manusia yang dirusak oleh ajaran sofisme mau dibentuknya kembali.
Budi ialah tahu. Inilah intisari dari etika Sokrates. Maksudnya, budi baik timbul dengan pengetahuan. Orang yang berpengetahuan dengan sendirinya berbudi baik. Maka, siapa yang mengetahui hukum tentulah bertindak sesuai dengan pengetahuannya itu. Tak mungkin ada pertentangan antara keyakinan dan perbuatan. Oleh karena budi berdasar atas pengetahuan, maka budi itu dapat dipelajari. Nyatalah bahwa etika Sokrates intelektual sifatnya, disamping juga rasional. Apabila budi ialah tahu, maka tak ada orang yang sengaja, atas kemauannya sendiri, bebuat jahat. Apabila budi adalah tahu, berdasarkan pertimbangan yang benar, maka "jahat" hanya datang dari orang yang tidak mengetahui, orang yang tidak memiliki pertimbangan atau penglihatan yang benar. Orang yang tersesat adalah korban dari kekhilafannya sendiri. Tersesat bukanlah perbuatan yang disengaja. Tidak ada orang yang khilaf atas kemauannya sendiri.
Oleh karena budi ialah tahu, maka siapa yang tahu akan kebaikan dengan sendirinya terpaksa berbuat baik. Untuk itu orang pandai perlu menguasai diri dalam segala keadaan. Dalam suka mupun duka. Dan apa yang pada hakikatnya baik, adalah juga baik bagi diri kita sendiri. Jadi, menuju kebaikan adalah jalan yang sebaik-baiknya untuk mencapai kebahagiaan hidup.
Apa itu "kebahagiaan hidup", tidak pernah dipersoalkan oleh Sokrates, sehingga murid-muridnya memberi pendapat mereka sendiri-sendiri yang bertentangan.
Menurut Sokrates, manusia itu pada dasarnya baik. Seperti dengan segala sesuatu yang ada itu ada tujuannya, begitu juga hidup manusia. Apa misalnya tujuan meja? Kekuatannya, kebaikannya. Begitu juga dengan manusia. Keadaan dan tujuan manusia ialah kebaikan sifatnya dan kebaikan budinya.
Dari pandangan etika yang rasional itu, Sokrates sampai kepada sikap hidup yang penuh dengan rasa keagaamaan. Menurut keyakinannya, menderita kezaliman lebih baik daripada berbuat zalim. Sikap itu diperlihatkannya, dengan kata dan perbuatan, dalam pembelaannya di muka hakim. Sokrates adalah orang yang percaya kepada Tuhan. Alam ini teratur susunannya menurut ujud yang tertentu. Itu, katanya, adalah tanda perbuatan Tuhan. Kepada Tuhan dipercayakannya segala-galanya yang tak terduga oleh otak manusia. Jiwa manusia itu dipandangnya sebagai bagian dari Tuhan yang menyusun alam. Sering pula dikemukakannya, bahwa Tuhan itu dirasakannya sebagai suara dari dalam, yang menjadi bimbingan baginya dalam segala perbuatannya. Itulah yang disebutnya "daimonion". Bukan ia saja yang dapat demikian, katanya. Semua orang dapat mendengarkan suara daimonion (suara batin) itu dari dalam jiwanya, apabila ia mau.
Juga dalam segi pandangan Sokrates yang berisi keagamaan, terdapat pengaruh paham rasionalisme. Semua itu menunjukkan kebulatan, keutuhan, konsistensi ajarannya, yang menjadikan ia seorang filsuf yang terutama seluruh masa




[1] https://id.wikipedia.org/wiki/Socrates, diakses pada tanggal, 10 Desember 2019.
[2] ibid

Mir Damad, Mistisme Guru Ketiga: Perdamaian Filsafat Dan Agama

Ia mampu mendayagunakan kemampuannya untuk menyatukan filsafat dengan kalangan umum dan penguasa politik melalui karyanya yang besar tentang penciptaan”
Sumber: andinaita

Pangeran terpelajar itu bernama Mir Burhan al-Din Muhammad Baqir Damad, guru ketiga (al-mu’allim ats-tsalits) setelah Aristoteles dan Al-Farabi, juga dikenal dengan sebutan Sayyid al-Afadil, Dilahirkan di Astrabad, dan besar di Mashdad, yang merupakan kota pusat pengajaran di Iran.[1]Selain disebut sebagai guru ketiga, Mir Damad juga mendapat gelar sebagai Sayyid al-Afadil (Pemimpin orang-orang tercerahkan).

Semenjak kecil, beliau merupakan orang yang konsen terhadap ilmu pengetahuan, hingga menjelang dewasa rasa dahaga terhadap ilmu pengetahuan semakin menjadi. Hal tersebut memaksa ia memutuskan untuk berkelana hingga ke wilayah Isfahan, yang saat itu dikuasai oleh Syah Abbas, penguasa paling terkenal dari Dinasti Safawiyah Kekaisaran Persia.[2]

Isfahan merupakan kota awal mulanya pendidikan Mir Damad dewasa. Namun tidak begitu lama ia menimba ilmu di kota tersebut dan kemudian melanjutkan ke kota Mashdad. Guru Mir Damad, terutama dalam bidang aqliyyah, adalah Mujtahid Syaikh Abdul ‘Ali ibn ‘Ali dan Syaikh Izuddin Husain ibn Abd Samad. Mir Damad dikenal pemikirannya yang bercorak Aristotelian.[3]

Seorang filsuf, mistikus, teolog, dan pujangga yang juga dikenal sebagai pendiri Mazhab Isfahan dalam filsafat. Isfahan adalah nama sebuah kota yang teletak sekitar 340 km selatan Teheran.[4]Mazhab Isfahan sendiri merupakan sebuah gerakan intelektual yang berupaya mengadakan sintesa diantara aneka wacana intelektual Islam, yaitu kalam, falsafah, dan tasawuf. Peran utama Mir Damad dalam upaya mengadakan sintesa antar wacana intelektual Islam yaitu dengan mendirikan yayasan khusus yang menanganinya dengan sebutan mazhab Isfahan (The School of Isfahan) yang kemudian dilanjutkan oleh Mulla Shadra hingga mengalami puncaknya melalui sebuah sistem filsafat yang disebut dengan Hikmah Muta’aliyah fi Asfar al-Aqqliyyah al- Arba’ah.[5] Dalam berbagai karya Mir Damad, banyak ilmuwan baik pada masanya juga setelahnya berpendapat bahwa, tulisan Mir Damad sangat komprehensif.

Tepatnya pada masa pra dinasti Safawi-awal, mazhab ini dikembangkan oleh Jalaluddin Davani, namun belum secara resmi mazhab Isfahandipublikasikan, karena pada masa ini adalah masa yang kurang kondusif dengan adanya peralihan kekuasaan.[6]Pada masa setelah dinasti Safawi berdiri, mazhab isfahan mulai berkembang yang ditokohi oleh Mir Damad.[7]

Mir Damad adalah figur yang secara benar mengajar filsafat Ibnu Sina yang ia artikulasikan ke dalam sistem filsafat iluminasi.[8]Mir Damad lebih dikenal  sebagai seorang filosof dan sufi yang menggabungkan pemahaman Aristoteles serta Neoplatonis dalam sebuah pandangan sufistik yang diadopsi dari pemikir-pemikir Islam sebelumnya. Mir Damad merupakan filosof yang meletakkan dasar-dasar bagi Mazhab Isfahan yang berkembang pada masa-masa setelahnya.

Mengenai mistisme, konon Mir Damad juga dikenal sebagai filsuf gnosis (kalangan yang sering mengasingkan diri). Ia selalu berpendapat bahwa aktifitas pikiran akan membawa seseorang merasakan perjalanan spiritual.

Pada masa Mir Damad, terjadi pergesekan antara kaum filsuf dan masyarakat umum, keadaan menjadi semakin buruk ketika para penentang terhadap filsafat kala itu juga terdapat dari kalangan penguasa, situasi politik yang tidak berpihak pada ilmu filsafat yang mengakibatkan perkembangannya menjadi tertekan.[9]Namun demikian Mir Damad mampu mendayagunakan kemampuannya untuk menyatukan filsafat dengan kalangan umum dan penguasa politik melalui karyanya yang besar tentang penciptaan, juga merupakan pencapaian yang luar biasa dizamannya. Karena karya inilah mir Damad mendapat julukan pendamai antara teologi dan filsafat.

Secara intelektual Mir Damad meninggalkan warisan ilmiah dalam bentuk karya tulis dengan jumlah cukup banyak, diantaranya. Al-Qabasat, karya filsafat ini juga berkali-kali menjadi rujukan Mulla Shadra dalam kitab Al-Hikmah al-Muta’aliyyah. Kemudian dua karya besar lainnya yaitu Sirath al-Mustaqim dan Al-Ufuq al-Mubin. Kemudian Imadat, Taqwim al-Imam, Khulaṣah al-Malakutiyyah, Nibras al-Diya’, al-Sab’u al-Syidad, Jazawat, Tasyriq al-Haq, dan Dawabih al-Rida’. Semua karya ini membicarakan persoalan filsafat. Karya-karyanya dalam bidang fiqih antara lain, Risalah Fi al-Jayb al-Zawiyyah, Risolehyi Fi al-Nahi al-Tasmiyyah, dan Al-Iqazat. Dalam bidang aqidah, karyanya adalah Al-Rawasikh al-samawiyyah. Dalam ilmu Rijal al-Hadis, karyanya adalah Syari’ al-Najah dan Al-A’dalat. Mir Damad juga menulis syair-syair, antara lain Majma’Al-Fusasadan Afash kada.[10]

Mir Damad meninggal dunia pada tahun 1631M. Dia meninggal akibat sakit yang dideritanya dalam perjalanan menuju Karbala, Irak. Ia kemudian dimakamkan di Najaf.[11]


[1] Mir Damad, id.wikipedia.org/wiki/Mir_Damad, diakses pada tanggal 15 Februari 2018
[2] Abbas I dari Persia, id.wikipedia.org/wiki/Abbas_I_dari_Persia, diakses pada tanggal 26 Maret 2018.
[3] Kholid al-Walid, Perjalanan Jiwa,  hal 9.
[4] https://id.wikipedia.org/wiki/Isfahan,  diakses pada tanggal 15 Februari 2018
[5] Hasan Bakti Nasution, Mazhab Paripatesis (Masy-sya’iy) dalam Filsafat Islam, hal 190
[6] Andrew J. Newman, Safavid Iran: Rebirth of a Persian Empire, (New York: I.B. Tauris & Co Ltd, 2006) hal. 132-133
[7] Henry Corbin, L’homme de Lumiere Dans Le Soufisme Iranien,edisi terjemah Bahasa Inggris, The Man of Light in Iranian Sufism, (Colorado: Shambhala Publications, Inc., 1978) hal. 21-22
[8] Luqman Junaidi, Konsep Ilmu Pengetahuan dalam Filsafat Iluminasi Suhrawardi, Tesis, Universitas Indonesia, 2009, hal 3.
[9] https://id.wikipedia.org/wiki/Mir_Damad, diakses pada tanggal 15 Februari 2018.
[10] http://eprints.walisongo.ac.id/1536/4/094111013_Skripsi_Bab3.pdf, diakses pada tanggal 15 Februari 2018, hal 48.
[11] Ibid, diakses pada tanggal 15 Februari 2018

Ibnu Bajjah - Cahaya dari Saragosa


“Seorang hafidz Qur’an, Ilmuwan yang multi talenta dan lihai dalam berpolitik, membuatnya mampu menerangi jalan ilmu pengetahuan di dunia Barat.”


Sumber : republika
Oleh : Dodi Iqbal Christian

Islam mulai masuk ke Andalusia (Spanyol) pada permulaan abad ke 8 M. Kemunculan Islam membuka cakrawala baru dalam sejarah Islam. Kurang lebih dalam rentang waktu tujuh abad, umat Islam di Andalusia mengalami kemajuan yang sangat pesat dalam ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Berbagai macam disiplin ilmu berkembang secara pesat dimasa itu. Hal tersebut ditandai dengan munculnya figur-figur ilmuwan yang mumpuni dalam bidangnya masing-masing. Hasil pemikiran mereka menjadi rujukan para akademisi, baik dikalangan akademisi Barat maupun kalangan akademisi Timur.

Peradaban yang bergerak maju begitu pesat tersebut, berimbas pada bangkitnya Renaisans di dunia Barat pada abad pertengahan.[1]Dalam bentangan sejarah, Islam di Andalusia telah mencatat satu lembaran budaya yang sangat brilian. Ia menjadi jembatan penyebrangan yang dilalui ilmu pengetahuan Yunani dengan Arab ke Eropa pada abad ke 12. Minat untuk mengembangkan filsafat dan ilmu pengetahuan mulai dikembangkan pada abad ke 19 selama pemerintahan Banu Umayyah ke 5, Muhammad ibn Abd al-Rahman (832-886 M). Al-Hakam berinisiatif untuk mengimpor karya filosofis dan ilmiah dari Timur salam jumlah yang besar, sehingga perpustakaan Cordova beserta universitas-universitasnya mampu menyaingi Baghdad yang pada saat itu merupakan pusat ilmu pengetahuan di dunia Islam. Tokoh utama dalam sejarah filsafat Andalusia adalah Abu Bakr Muhammad ibn al-Sayigh, atau yang lebih dikenal dengan nama Ibn Bajjah.[2]

Avempac, seperti itulah ilmuwan barat biasa memanggil namanya,[3]seorang filsuf muslim pertama di dunia barat, dan juga ilmuwan terkemuka pada era kejayaan Islam di Spanyol.[4]Manusia yang multi talenta ini bukan hanya seorang filosof an sich,[5]tetapi juga ahli dalam bidang astronomi, matematika, fisika, kedokteran, sastra, botani, filsafat, logika, musik dan sastra. [6]  Ia muncul pada tiga atau empat dasawarsa pertama abad ke-12 di Andalusia (Spanyol). Dikenal dengan julukan Ibnul – Shaigh (anak emas).

Terlahir dengan nama Abu Bakar Muhammad bin Yahya bin ash-Shaigh at-Tujibi bin Bajjah, sang ilmuwan  agung dari Saragosa, Spanyol pada tahun 1082 M.[7] Ia menempa diri dengan pengetahuan dalam bidang sastra di kota tersebut, sehingga membuat kemampuannya menjadi sangat mumpuni dalam hal sastra. Namanya meroket saat ia merangkai kata-kata menjadi kalimat-kalimat nan indah mendapatkan apresiasi dalam kemenangan kompetisi puisi bergengsi yang mencatatkan namanya sebagai seorang sastrawan hebat dimasa itu.

Kepandaiannya merangkai kata-kata juga sebanding dengan kepiawaiannya bermain musik, ilmuwan penyuka alat musik gambus ini merupakan seorang yang hafal al-Quran. Tidak ada orang yang meragukan keindahan kata-katanya ketika berpuisi, alunan musiknya menggugah energi tersendiri di dalam jiwa.

Manusia multi talenta ini rupanya seorang yang lihai dalam berpolitik, kemampuan dan kehebatannya berpolitik menarik perhatian Gubernur Saragosa, Abu Bakar ibn Ibrahim ibn Tifalwit, yang kemudian mengangkatnya sebagai menteri saat Abu Bakar Ibrahim ibn Tifalwit berkuasa di Saragosa. Namun Saragosa berhasil jatuh ditangan Raja Alphonso I dari Aragon ditahun 1118 M. Peristiwa ini mengharuskan sang ilmuwan berpindah ke tempat lain yaitu Sevile. Kecintaannya terhadap ilmu pun ia bawa serta kemanapun kaki melangkah. Di sevile, Ibnu Bajjah aktif dalam menulis banyak buku, terutama mengenai ilmu logika. Selain itu Bajjah juga menolong orang-orang sakit dengan ilmu pengobatan yang ia miliki.

Semenjak Saragosa beralih kekuasaan, Ibnu Bajjah memulai kisah pengembaraannya, dimulai dari Sevile, kemudian Granada, dan berlanjut ke Afrika Utara. Dari berbagai tempat ia kemudian memahami bagaimana sebagian masyarakat memperlakukan ilmu pengetahuan secara berbeda-beda, terlebih saat ia ditangkap di kota Syatibah, Afrika. Amir Abu Ishak Ibrahim ibn Yusuf ibn  Tasfin menuduh bahwa Ibnu Bajjah telah melakukan berbagai macam perbuatan dan pemikiran bid’ah sehingga menjadi murtad. Hal ini menyebabkan sang ilmuwan merasakan dinginnya ruang tahanan. Namun hal ini tidak berlangsung telalu lama, seorang muridnya bernama Ibn Rusyd berhasil membebaskan Ibnu Bajjah. [8]

Sadar bahwa dirinya tidak memiliki tempat di Afrika, maka Ibnu Bajjah melanjutkan pengembaraannya ke kota Fez di Maroko. Di kota ini, ilmu dan kepiawaiannya dalam berpolitik kembali dilirik oleh sang penguasa, yaitu Abu Bakar ibn Yusuf ibn Tahfin. Ibnu Bajjah kemudian diangkat sebagai seorang Wazir[9], ia menjabat sebagai Wazir selama 20 tahun.

Kecemerlangannya dalam karir politik juga berbanding lurus dengan keahliannya dalam bidang filsafat. Kehebatannya yang setara dengan al-Farabi dan Aristoteles, mampu mempengaruhi pemikiran Albertus Magnus dan Ibnu Rusyd. Konsep mengenai ‘makhluk sosial’ telah ia cetuskan jauh sebelum para sarjana barat merumuskannya. Pada abad ke-11 ia telah menguraikan secara detail mengenai masyarakat madani.

Kecintaannya terhadap ilmu pengetahuan, mengantarkannya ketempat yang tinggi dalam tatanan sosial masyarakat. Bukan hal yang aneh ketika ada segelintir orang yang mulai iri atas pencapaiannya dalam berbagai bidang. Sama-sama berprofesi sebagai dokter, teman Ibnu Bajjah merasa iri terhadap kejeniusannya, juga merasa dirinya tersingkir dan kalah dalam perjalanan karirnya. Hingga pada tahun 1138 M, Ibnu Bajah meninggal dengan cara diracun oleh kawannya tersebut. [10]

Kematiannya yang terlalu cepat itu, membuat beberapa karyanya menjadi tidak lengkap.[11]Namun demikian, ia telah mampu menjadi seorang muslim yang menjadi cahaya penerang jalan di dunia Barat.


[1] Dedi Supriadi, Pengantar Filsafat Islam (Konsep, Filsuf, dan ajarannya), Bandung: Pustaka Setia, 2009 hlm 119-120.
[2] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2000, hlm 101-102.
[3] Op Cit, hlm.197.
[4] A. Mustofa, Filsafat Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2009, hlm 225.
[5] Sebuah istilah dari bahasa Jerman yang secara harfiah memilik arti “Pada dirinya sendiri”, “pada hakekatnya”. An sich dapat dijelaskan sebagai semua objek yang kita kenal yang berada di luar tubuh kita. Objek-objek tersebut hadir kedalam kesadaran kita melalui panca indra. Id.wikipedia.org/wiki/an_sich, diakses pada tanggal 26 Maret 2018.
[6] Id.wikipedia.org/wiki.ibnu_bajjah, diakses pada tanggal 18 Maret 2018.
[7] ibid
[8] Dedi Supriadi, Pengantar Filsafat Islam (Konsep, Filsuf, dan ajarannya), Bandung: Pustaka Setia, 2009 Hlm. 197-198
[9] Wazir atau dalam bahasa inggris vizier, adalah seorang penasihat atau menteri politik dan/atau keagamaan, memiliki kedudukan tinggi yang biasanya ditemui pada sistem monarki Islam.
[10] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, hlm 186
[11] Id.wikipedia.org/wiki.ibnu_bajjah, diakses pada tanggal 18 Maret 2018.